Minggu, 07 Desember 2014

Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa


Makalah Filsafat Sains

Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa




 






Oleh :
Fitriana Nur Astuti (123654044)








PRODI PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013

                                                          
Kata Pengantar


Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.









Surabaya, 25 September 2013





Penulis












BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi keahlian atau ketrampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Selanjutnya, sains modern bisa dikatakan lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya eksperimen dan observasi.
Setiap filosof adalah ilmuan, karena filsafat berdiri atas dasar ilmu pasti dan ilmu alam. akan tetapi, tidak setiap ilmuan adalah filosof. pada saat kejayaan islam mencapai puncaknya, ketika itu antara filsafat, agama dan sains berbaur menjadi satu, sehingga saling mempengaruhi. oleh karenanya terputusnya hubungan antara fisafat dan sains bagaikan kepala tanpa badan dan tubuh tanpa roh.
Begitu dekat hubungan antara sains dan filsafat, sehingga beberapa macam pengetahuan ilmiah tertentu, khususnya cabang-cabang yang lebih umum, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, dan psikologi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi dasar penulisan makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian ilmu sains?
2.      Bagaimana perkembangan ilmu sains dari masa ke masa?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui dan mengerti tentang ilmu sains
2.      Mengetahui perkembangan ilmu sains dari masa ke masa





BAB II
              PEMBAHASAN           



2.1  Pengertian Ilmu Sains
Ilmu pengetahuan alam atau Sains merupakan terjemahan kata-kata inggris yaitu natural science artinya ilmu yang mempelajari tentang alam. Sehubungan dengan itu Darmojo, 1992 (Samatowa, 2006: 2) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Selain itu Nash, 1993 (Samatowa, 2006: 2) menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara sains mengamati dunia bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu prespektif  yang baru tentang objek yang diamatinya. Jadi penekanan dalam pembelajaran Sains adalah pengembangan kreativitas anak dalam mengelola pemikirannya menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain yang ada dilingkungannya, sehingga memperoleh suatu gagasan (ide), pemahaman, serta pola baru dalam berfikir memahami suatu objek yang diamati.
James, 1997 (Samatowa, 2006: 1) mendefinisikan Sains sebagai suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasikan lebih lanjut.  Kemudian Whitehead, 1999 (Samatowa, 2006: 1) menyatakan bahwa Sains dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman.
Hampir setengah abad yang lalu, Vessel (1965: 2) memberikan jawaban yang sangat singkat tetapi bermakna yakni “science is what scientists do”. Sains adalah apa yang dikerjakan para ahli Sains (saintis). Setiap  penemuan setiap aspek dari lingkungan sekitar, yang menjadikan seseorang dapat mengukurnya sebaik mungkin, mengumpul dan menilai data dari hasil penelitiannya dengan hati-hati dan terbuka. Pada bagian lain, Vessel (1965: 3) mengemukakan bahwa “science is an intellectual search involving inquiri, rational trough, and generalization”. Hal itu mencakup tehnik Sains yang sering disebut sebagai proses Sains. Sedangkan hasilnya yang berupa fakta-fakta dan prinsip biasa disebut dengan produk Sains.
Pengertian lain yang juga sangat singkat tetapi bermakna adalah “science is an away of knowing” (Trowbridge & Baybee, 1990: 48) frase ini mengandung ide bahwa Sains adalah proses yang sedang berlangsung dengan fokus pada pengembangan dan pengorganisasian pengetahuan. Oleh sebab itu Sains juga dapat dipandang dari berbagai segi, 3 (tiga) diantaranya menurut Abruscato (1992: 6) adalah :
Science is the name we give to group of processes through which we can systematically gather information about the natural world. Science is also the knowledge gathered throughthe use of such as processes. Finally, science is characterized by those values and atituted prosessed by people who use scientific processes to gather knowledge.
Secara umum petikan di atas memberikan pengertian (1) Sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, (2) Sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu, dan (3) Sains dicirikan oleh nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, Sains adalah proses kegiatan yang dilakukan para saintis dalam memperoleh pengetahuan dan sikap terhadap proses kegiatan tersebut.
Sains didasarkan pula pada pendekatan empirik dengan asumsi bahwa alam raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskan dengan tidak semata-mata bergantung pada metode kasualitas tetapi melalui proses tertentu, misalnya observasi, eksperimen dan analisis rasional. Dalam hal ini juga digunakan sikap tertentu, misalnya berusaha berlaku seobyektif mungkin, dan jujur dalam mengumpulkan dan mengevaluasi data. Dengan menggunakan proses dan sikap ilmiah ini akan melahirkan penemuan-penemuan baru yang menjadi produk Sains. Jika Sains bukan hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dapat dihafal, terdiri atas proses aktif menggunakan, pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat diterangkan.
Harlen (1997) mengemukakan tiga karakteristik utama Sains yakni: Pertama, memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji validitas (kesahihan) prinsip dan teori ilmiah. Meskipun kelihatan logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis, teori dan prinsip hanya berguna jika sesuai dengan kenyataan yang ada. Kedua, memberi pengertian adanya hubungan antara fakta-fakta yang di observasi yang memungkinkan penyusunan prediksi sebelum sampai pada kesimpulan. Ketiga, memberi makna bahwa teori Sains bukanlah kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal ini memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan, serta pengertian tentang perubahan itu sendiri.
Budi (1998) mengutip beberapa pendapat para ahli dan mengemukakan beberapa rincian hakikat Sains, diantaranya: (1) Sains adalah bangunan atau deretan konsep dan skema konseptual (conceptual scheme) yang Saling berhubungan sebagai hasil eksperimentasi dan observasi (Conant, dalam Kuslan dan Stone, 1978) , (2) Sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode observasi (Vessel, 1975), (3) Sains adalah suatu sistem untuk memahami alam semesta melalui data yang dikumpulkan melalui observasi atau eksperimen yang dikontrol (Carin and Sund, 1989) dan (4) Sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengelolanya demi memenuhi kebutuhan (Dawson, 1984). 
Jika dicermati ada dua aspek penting dari definisi-definisi tersebut yakni langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami alam (proses Sains) dan pengetahuan yang dihasilkan berupa fakta, prinsip, konsep, dan teori (produk Sains). Kedua aspek tersebut harus didukung oleh sikap Sains (sikap ilmiah) berupa keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru.
2.2  Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa
Pada awalnya filsafat sains lebih berupa metodologi atau telaah tentang tata kerja atau metode dalam berbagai sains serta pertanggungjawabanya secara rasional. Dalam logika sains biasa dibedakan ada yang disebut dengan konteks penemuan sains (context of scientific justification).
Tradisi sains, sebenarnya telah dimulai sejak filsafat itu lahir, yaitu sejak atau sekitar abad ke 6 SM. Thales, yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat telah mengutarakan dengan mencari tahu tentang bahan dasar alam semesta ia menyimpulkan bahwa bahan dasar alam semesta itu adalah air. Jawaban ini tidak memuaskan murid dan pemikir setelahnya. Anaximenes misalnya mengatakan bahwa bahan dasar yang membangun alam semesta itu adalah udara. Anaximandros mengatakan suatu prinsip yang tidak terbatas(to Apeiron). Penyelidikan para pendahulu filsafat ini lebih bersifat kosmologi-ontologis, belum epistemologis, artinya belum begitu serius. Baru setelah Aristoteles (1384-322 SM) membahas epistemologis mulai dipertanyakan.Arisoteles mengemukakan acuan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu dengan menggunakan pengamat induktif dan metode deduktif.
Dari kedua metode yang nampak bertolak belakang itu, Aristoteles mengusulkan bahwa untuk mencapai pengetahuan yang solid, kedua metode tersebut mesti sama-sama digunakan, artinya apa yang kita pikirkan itu harus bisa dibuktikan atau berhubungan dengan realitas dan kenyataan konkret.
Zaman semakin maju, revolusi terjadi dalam berbagai bidang, maka arah kajian filsafat sains berkembang ke zaman yang lebih baru dan lebih positive. Agar nampak tidak terlalu naf, tampilah para tokoh filsafat sains yang menberikan landasan filsafat bahasa pada positivme hingga tampil menjadi logis gerakan ini muncul setelah didirikan kelompok kajian filsafat sains yang disebut dengan, lingkaran wina.aliranya disebut positivisme logis. Pada awal abad ke 20 inilah filsafat sains mencapai puncaknya.
Hubungan Antara Filsafat dan Sains
Pada akhirnya kita memang melihat adanya sebuah hubungan antara filsafat dengan sains. Mereka memiliki spirit dan tujuan yang sama yaitu jujur dan mencari kebenaran. Dalam pencarian kebenaran ini sais menentukan dalam dirinya sendiri tugas khas tertentu dan tugas ini memerlukan batas-batas tertentu. Tetapi penyelidikan pikiran manusia yang selalu ingin tahu, melukai batas-batas ini dan menuntut perembesan terhadap wilayah yang berada di balik bidang sains, dengan demikian lalu filsafat muncul.

Perbandingan Antara Filsafat Dan Sains
Dalam hal ini tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal ini bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berfikir filosofi spekulatif dan berfikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran filsafat pendidikan tradisional, adalah bahwa filsafat menetukan tujuan dan science manentukan alat sarana untuk hidup.
Untuk lebih jelas dan untuk lebih mengetahui tentang perbandingan antara filsafat dan sains, maka di bawah ini akan dijelaskan tentang persamaan dan perbedaan antara keduanya, yaitu :
Persamaan :
  1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
  2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab akibatnya.
  3. Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
  4. Keduanya mempunyai metode dan system.
  5. Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektifitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan :
Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak sedangkan kajian filsafat tidak terkokta-kotak dalam disiplin tertentu. Obyek formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat fregmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu ada itu secara luas, mendalam dan mendasar, sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik yang berarti bahwa cara-cara ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjol daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan tital dan error. oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
Sekarang, filsafat sama dengan sains dalam menemukan pengetahuan yang seksama dan terorganisir dengan baik. Tapi filsafat tidak puas dengan definisi semacam ini. Filsafat mencari pengetahuan yang juga konprehensif. Pikiran manusia tidak puas semata-mata dengan menyusun rangkaian yang tetap tentang fenomena dan sekedar merumuskan cara-cara mereka bertingkah-laku. Pikiran manusia sangat membutuhkan beberapa penjelasan akhir berkenaan dengan berbagai fenomena dengan perilaku.
Dalam sejarah perkembangannya sebagaimana yang terjadi di dunia Islam dengan kelahiran mu’tazilah yang mengedepankan akal (rasio) sekitar (abad 2 H/8M), di dunia Eropha juga lahir gerakan Aufklarung (abad 11 H/17 M). kedua sisi ini hendak merasionalkan agama. Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan dan Aufklarung menolak trinitas sebagai sifat Tuan. Alam Aufklarung inilah dalam perkembangannya telah membuat peradaban Eropa menjurus pada pemujaan akal. Mereka berpendapat bahwa antara ilmu dan agama terjadi pertentangan yang keras, ilmu pengetahuan berkembang pada dunianya dan agama pada dunia yang lain. Dalam persoalan ini lahirlah sikap sekuleristik dalam ilmu pengetahuan.
Liberalisasi, emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang begitu diagungkan merupakan nilai-nilai kejiwaan yang selalu mewarnai sikap mental manusia Barat semenjak zaman renaissance (abad 15) dan Aufklaerung (abad ke 18) yang memungkinkan mereka melakukan tinggal landas mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga sekarang ini.
Tokoh-tokoh renaissance dan Aufklaerung seperti Copernicus (1473- 1543), Kepler (1571-16300, Galilie (1564-1642), Descrates (1596-1650), Newton (1643-1727), Immanuel Kant(1724-1804), adalah sebagaian dari deretan panjang nama-nama yang dalam sejarah kehidupan umat manusia meupakan pelopor dan peletak dasar ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahun sebagai pengejawantahan peradaban manusia telah dan akan terus berkembang menurut proses dialektis, eksternalisasi, tempat manusia membangun dunianya, menciptakan alam lingkungannya, objektiivitas, tempat terciptanya hasil-hail karya manusia secara objektif kemudian terlepas dan akan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, internalisasi , struktural dunia objektif ke dalam kesadaran subjektifnya.
Namun perkembangan fisafat ilmu itu sendiri berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Tentang ilmu terutama amat penting karangan-karangan dan buah pikiran Ibnu Rusyd (Averroism) sangat berpengaruh atas perkembangan ilmu pada universitas-universitas yang terkenal di Eropa, seperti Bologna, Napoli, Paris dan lain-lain sehingga menjadi faktor yang penting dalam bangkitnya sikap pikiran ilmu manusia baru dizaman renaissance.
Zaman perkembangan ilmu yang palnig menentukan dasar kemajuan ilmu sekarang ini ialah sejak zaman sekarang ini ialah sejak abad ke 17 dengan dorongan beberapa hal : pertama : untuk mengembalikan keputusan dan pernyataan-pernyataan ilmiah lalu menonjolkan peranan matematik sebagai sarana penunjang pemikiran ilmiah. Dalam angka inilah mulainya menonjol peranan penggunaan angka Arab di Eropa (angka yang kita kenal di dunia sekarang) karena dinilai lebih sederhana dan praktis dari pada angka –angka Romawi. Adapun angka Arab itu sendiri dikembangkan dan berasal dari kebudayaan India. Faktor yang kedua dalam revolusi ilmu di abad ke 17, ialah makin gigihnya para ilmuwan menggunakan pengamatan dan eksperimen, dalam membuktikan kebenaran-kebenaran preposisi ilmu.
Namun J.B.Bury menyangkal bahwa kemajuan ilmu tidak terdapat pada abad pertengahan bahkan tidak terdapat pada awal Renaissance ,tetapi baru abad ke -17, sebagai hasil dari rumusan Cartesius tentang dua aksioma yaitu :
1) berkuasanya akal manusia dan 2) tak berubah-ubahnya hukum alam.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani .Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi perkembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut :
1.    Pra Yunani Kuno (abad 15-7 SM)
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Yakni ketika belum mengenal peralatan seperti yang dipakai sekarang ini. Pada masa itu manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Masa zaman batu berkisar antara 4 juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum masehi. Sisa peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini antara lain: alat-alat dari batu, tulang belulang dari hewan, sisa beberapa tanaman, gambar-gambar digua-gua, tempat-tempat penguburan, tulang belulang manusia purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat diruntut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani, Babilonia, Mesir, China, Timur Tengah dan Eropa.
2.    Zaman Yunani kuno (abad-7-2 SM)
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya, Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudangnya ilmu dan filsafat, karena Yunani pada masa itu tidak mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman-pengalaman yang didasarkan pada sikap menerima saja (receptive attitude) tetapi menumbuhkan anquiring attitude (senang menyelidiki secara kritis).
Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir yang terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain : Thales, Demokrates dan Aristoteles.
3.    Zaman Pertengahan (Abad 2- 14 SM)
Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para tampilnya theolog di lapangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya para theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah Anchila Theologia (abdi agama). Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu Zaman bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan stronomi, 8 abad sebelum Galileo Galilie dan Copernicus. Sedangkan peradaban Islam yang menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah mendirikan Sekolah kedokteran dan Astronomi di Jundishapur. Pada masa keemasan kebudayaan Islam, dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani. Dan bahkan khalifah Al_Makmun telah mendirikan rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) / Baitul Hikmah pada abad 9. Pada abad ini Eropa mengalami zaman kegelapan (dark age).
4.    Masa Renaissance (14-17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama, Renaissanse adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Tokoh-tokohnya adalah : Roger Bacon, Copernicus, Tycho Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik disini adalah pendapat Roger Bacon, ia berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik merupakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Menurut Bacon, filsafat harus dipisahkan dari theologi. Agama yang lama masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya Allah. Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain didalam theology hanya dikenal melalui wahyu. Menurut dia kemenangan iman adalah besar, jika dogma-dogma tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.
 Sedangkan Copernicus adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan bahwa matahari berada di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi matahari. Teori ini disebut Heliosentrisme. Namun teorinya ditentang kalangan gereja yang mempertahankan prinsip Geosentrisme yang dianggap lebih benar dari pada prinsip Heliosentrisme. Setiap siang kita melihat semua mengelilingi bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia menjadi pusat perhatian Tuhan, untuk manusialah semuanya, paham demikian disebut Homosentrisme. dengan kata lain prinsip Geosentrisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip Homosentrisme.
5.    Perkembangan Filsafat Zaman Modern (17-19 M)
Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak secara keseluruhan bercorak sufisme Yunani. Paham–paham yang muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan Empirisme. Paham Rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung rasionalisme, yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa., spirit, Para pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber filsafatnya mengikuti filsafat kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif merupakan murid Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme Objektif .Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat Idealisme Mutlak Hegel.
 Pada Paham Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme. Mereka menentang para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Thomas Hobes Jonh locke,dan David Hume.
6.    Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh perkembangan ilmu kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan, dalam kajian ilmu social keagamaan, penelitiannya Clifford Geert yang dalam versi aslinya berjudul The Religion of Java. Teknologi rekayasa genetika, teknologi Informasi, adanya teori Partikel Elementer dan kemajuan sains dan teknologi dibidang-bidang lain .
 Lebih lanjut Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan.
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
 Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
 Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, - or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa yang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally.
 Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian. Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik, yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
 Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural, terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.






BAB III
PENUTUP




Kesimpulan
Sistematika filsafat membicarakan masalah sains atau pengetahuan tentang pa yang telah diketahui dan sejauh mana kebenaran pengetahuan yang dimaksudkan. Hakikat tahu,mengetahui, dan pengetahuan dengan segala kaitannya meliputi hal-hal yang dimaksud dengan ‘tahu’ atau mengetahui suatu hal. Kemudian, setiap tahu danmengetahui akan melibatkan suatu gagasan dalam pikiran dan pengalaman indrawi, sehingga pengetahuan itu mengandung kriteria kebenaran filosofis.

Dalam hal ini tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis spekulatif danberpikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran filsafat pendidikan tradisional adalah bahwa filsafat menentukan tujuan dan sains menentukan alat sarana untuk hidup.
  





Daftar Pustaka


  • Irawan, 2007. Tokoh-Tokoh Filsafat Sains dari masa ke masa. Bandung ; Intelekia Pratama.
  • Irawan, 2008. Pengantar Singkat Ilmu Filsafat. Bandung; Intelekia pratama.
  • Usman Samatowa. (2006). Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Nasional
  •  http://fajarsubijakto.wordpress.com ( Diakses pada tanggal 22 September 2013) 
  •  http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_alam (Diakses pada tanggal 23 September 2013
















5 komentar:

  1. Wahh...artikel nya menarik dan menambah wawasan. Terimakasih infonya..

    BalasHapus
  2. infonya menarik sekali ,, terima kasih karena telah menambah wawasan kepada saya :)

    BalasHapus
  3. terimakasih atas postingannya kak, ini sangat membantu menambah wawasan dan pengetahuan :)

    BalasHapus
  4. Bermanfaat sekali tulisan ini. Bisa buat referensi belajar dan nyelesein tugas kuliah. Makasih udah berbagi. Keep posting!

    BalasHapus
  5. artikel ini menarik dan sangat bermanfaat .. terima kasih infonyaa....

    BalasHapus