Makalah Filsafat Sains
Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke
Masa
Oleh :
Fitriana Nur Astuti (123654044)
PRODI PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013
Kata Pengantar
Puji dan Syukur
Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa.
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Surabaya, 25 September
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah
perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua
tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani
kuno serta tradisi keahlian atau ketrampilan tangan yang berkembang di awal
peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat
memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian
tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Selanjutnya, sains
modern bisa dikatakan lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan logika
rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya
eksperimen dan observasi.
Setiap filosof
adalah ilmuan, karena filsafat berdiri atas dasar ilmu pasti dan ilmu alam.
akan tetapi, tidak setiap ilmuan adalah filosof. pada saat kejayaan islam
mencapai puncaknya, ketika itu antara filsafat, agama dan sains berbaur menjadi
satu, sehingga saling mempengaruhi. oleh karenanya terputusnya hubungan antara
fisafat dan sains bagaikan kepala tanpa badan dan tubuh tanpa roh.
Begitu dekat
hubungan antara sains dan filsafat, sehingga beberapa macam pengetahuan ilmiah
tertentu, khususnya cabang-cabang yang lebih umum, seperti matematika, fisika,
kimia, biologi, dan psikologi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang menjadi dasar penulisan makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian ilmu sains?
2.
Bagaimana perkembangan ilmu sains dari masa ke
masa?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan mengerti tentang ilmu sains
2.
Mengetahui perkembangan ilmu sains dari masa ke
masa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Sains
Ilmu pengetahuan alam atau Sains
merupakan terjemahan kata-kata inggris yaitu natural science artinya ilmu yang
mempelajari tentang alam. Sehubungan dengan itu Darmojo, 1992 (Samatowa, 2006:
2) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang
alam semesta dengan segala isinya. Selain itu Nash, 1993 (Samatowa, 2006: 2)
menyatakan bahwa Sains
itu adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan
bahwa cara sains mengamati dunia bersifat analisis, lengkap, cermat serta
menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga
keseluruhannya membentuk suatu prespektif
yang baru tentang objek yang diamatinya. Jadi penekanan dalam
pembelajaran Sains adalah pengembangan kreativitas anak dalam mengelola
pemikirannya menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain yang ada
dilingkungannya, sehingga memperoleh suatu gagasan (ide), pemahaman, serta pola
baru dalam berfikir memahami suatu objek yang diamati.
James, 1997 (Samatowa, 2006: 1) mendefinisikan Sains sebagai suatu
deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang
tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati
dan dieksperimentasikan lebih lanjut.
Kemudian Whitehead, 1999 (Samatowa, 2006: 1) menyatakan bahwa Sains
dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman.
Hampir setengah abad yang lalu, Vessel (1965: 2) memberikan jawaban yang
sangat singkat tetapi bermakna yakni “science is what scientists do”.
Sains adalah apa yang dikerjakan para ahli Sains (saintis). Setiap penemuan setiap aspek dari lingkungan
sekitar, yang menjadikan seseorang dapat mengukurnya sebaik mungkin, mengumpul
dan menilai data dari hasil penelitiannya dengan hati-hati dan terbuka. Pada
bagian lain, Vessel (1965: 3) mengemukakan bahwa “science is an intellectual
search involving inquiri, rational trough, and generalization”. Hal itu
mencakup tehnik Sains yang sering disebut sebagai proses Sains. Sedangkan
hasilnya yang berupa fakta-fakta dan prinsip biasa disebut dengan produk Sains.
Pengertian lain yang juga sangat singkat tetapi bermakna adalah “science
is an away of knowing” (Trowbridge & Baybee, 1990: 48) frase ini mengandung
ide bahwa Sains adalah proses yang sedang berlangsung dengan fokus pada
pengembangan dan pengorganisasian pengetahuan. Oleh sebab itu Sains juga dapat
dipandang dari berbagai segi, 3 (tiga) diantaranya menurut Abruscato (1992: 6)
adalah :
Science is the name we give to
group of processes through which we can systematically gather information about
the natural world. Science is also the knowledge gathered throughthe use of
such as processes. Finally, science is characterized by those values and
atituted prosessed by people who use scientific processes to gather knowledge.
Secara umum petikan di atas memberikan pengertian (1) Sains adalah
sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia
sekitar, (2) Sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan
tertentu, dan (3) Sains dicirikan oleh nilai-nilai dan sikap para ilmuwan
menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, Sains
adalah proses kegiatan yang dilakukan para saintis dalam memperoleh pengetahuan
dan sikap terhadap proses kegiatan tersebut.
Sains didasarkan pula pada pendekatan empirik dengan asumsi bahwa alam
raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskan dengan tidak semata-mata
bergantung pada metode kasualitas tetapi melalui proses tertentu, misalnya
observasi, eksperimen dan analisis rasional. Dalam hal ini juga digunakan sikap
tertentu, misalnya berusaha berlaku seobyektif mungkin, dan jujur dalam
mengumpulkan dan mengevaluasi data. Dengan menggunakan proses dan sikap ilmiah
ini akan melahirkan penemuan-penemuan baru yang menjadi produk Sains. Jika
Sains bukan hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta
yang dapat dihafal, terdiri atas proses aktif menggunakan, pikiran dalam
mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat diterangkan.
Harlen (1997) mengemukakan tiga karakteristik utama Sains yakni: Pertama,
memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji validitas
(kesahihan) prinsip dan teori ilmiah. Meskipun kelihatan logis dan dapat
dijelaskan secara hipotesis, teori dan prinsip hanya berguna jika sesuai dengan
kenyataan yang ada. Kedua, memberi pengertian adanya hubungan antara
fakta-fakta yang di observasi yang memungkinkan penyusunan prediksi sebelum
sampai pada kesimpulan. Ketiga, memberi makna bahwa teori Sains bukanlah
kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori
tersebut. Hal ini memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang
perubahan yang telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan, serta
pengertian tentang perubahan itu sendiri.
Budi (1998) mengutip beberapa pendapat para ahli dan mengemukakan
beberapa rincian hakikat Sains, diantaranya: (1) Sains adalah bangunan atau
deretan konsep dan skema konseptual (conceptual scheme) yang Saling berhubungan
sebagai hasil eksperimentasi dan observasi (Conant, dalam Kuslan dan Stone,
1978) , (2) Sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan
metode observasi (Vessel, 1975), (3) Sains adalah suatu sistem untuk memahami
alam semesta melalui data yang dikumpulkan melalui observasi atau eksperimen
yang dikontrol (Carin and Sund, 1989) dan (4) Sains adalah aktivitas pemecahan
masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di
sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengelolanya demi
memenuhi kebutuhan (Dawson, 1984).
Jika dicermati ada dua aspek penting dari definisi-definisi tersebut
yakni langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami alam (proses Sains) dan
pengetahuan yang dihasilkan berupa fakta, prinsip, konsep, dan teori (produk
Sains). Kedua aspek tersebut harus didukung oleh sikap Sains (sikap ilmiah)
berupa keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau
mengembangkan pengetahuan baru.
2.2 Perkembangan Ilmu Sains dari Masa ke Masa
Pada awalnya filsafat sains lebih berupa metodologi atau
telaah tentang tata kerja atau metode dalam berbagai sains serta
pertanggungjawabanya secara rasional. Dalam logika sains biasa dibedakan ada
yang disebut dengan konteks penemuan sains (context of scientific
justification).
Tradisi sains, sebenarnya telah dimulai sejak filsafat itu
lahir, yaitu sejak atau sekitar abad ke 6 SM. Thales, yang disebut-sebut
sebagai bapak filsafat telah mengutarakan dengan mencari tahu tentang bahan dasar alam semesta ia
menyimpulkan bahwa bahan dasar alam semesta itu adalah air. Jawaban ini tidak
memuaskan murid dan pemikir setelahnya. Anaximenes misalnya mengatakan bahwa
bahan dasar yang membangun alam semesta itu adalah udara. Anaximandros
mengatakan suatu prinsip yang tidak terbatas(to Apeiron). Penyelidikan para
pendahulu filsafat ini lebih bersifat kosmologi-ontologis, belum epistemologis,
artinya belum begitu serius. Baru setelah Aristoteles (1384-322 SM) membahas
epistemologis mulai dipertanyakan.Arisoteles mengemukakan acuan untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu dengan menggunakan pengamat induktif
dan metode deduktif.
Dari kedua metode
yang nampak bertolak belakang itu, Aristoteles mengusulkan bahwa untuk mencapai
pengetahuan yang solid, kedua metode tersebut mesti sama-sama digunakan,
artinya apa yang kita pikirkan itu harus bisa dibuktikan atau berhubungan
dengan realitas dan kenyataan konkret.
Zaman semakin maju, revolusi terjadi dalam berbagai bidang,
maka arah kajian filsafat sains berkembang ke zaman yang lebih baru dan lebih
positive. Agar nampak tidak terlalu naf, tampilah para tokoh filsafat sains
yang menberikan landasan filsafat bahasa pada positivme hingga tampil menjadi
logis gerakan ini muncul setelah didirikan kelompok kajian filsafat sains yang
disebut dengan, lingkaran wina.aliranya disebut positivisme logis. Pada awal
abad ke 20 inilah filsafat sains mencapai puncaknya.
Hubungan Antara Filsafat
dan Sains
Pada akhirnya kita memang melihat adanya sebuah hubungan
antara filsafat dengan sains. Mereka memiliki spirit dan tujuan yang sama yaitu
jujur dan mencari kebenaran. Dalam pencarian kebenaran ini sais menentukan dalam dirinya
sendiri tugas khas tertentu dan tugas ini memerlukan batas-batas tertentu.
Tetapi penyelidikan pikiran manusia yang selalu ingin tahu, melukai batas-batas ini dan
menuntut perembesan terhadap wilayah yang berada di balik bidang sains, dengan
demikian lalu filsafat muncul.
Perbandingan Antara Filsafat Dan Sains
Dalam hal ini
tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal ini bahwa keduanya
merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berfikir filosofi
spekulatif dan berfikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran filsafat
pendidikan tradisional, adalah bahwa filsafat menetukan tujuan dan science
manentukan alat sarana untuk hidup.
Untuk lebih jelas dan untuk lebih mengetahui tentang
perbandingan antara filsafat dan sains, maka di bawah ini akan dijelaskan
tentang persamaan dan perbedaan antara keduanya, yaitu :
Persamaan :
- Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
- Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab akibatnya.
- Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
- Keduanya mempunyai metode dan system.
- Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektifitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan :
Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal
(umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu
(pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak
sedangkan kajian filsafat tidak terkokta-kotak dalam disiplin tertentu. Obyek
formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat fregmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu ada itu secara luas, mendalam dan mendasar,
sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu,
obyek formal itu bersifat teknik yang berarti bahwa cara-cara ide manusia itu
mengadakan penyatuan diri dengan realita. Filsafat dilaksanakan dalam suasana
pengetahuan yang menonjol daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu
haruslah diadakan riset lewat pendekatan tital dan error. oleh karena itu,
nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul
dari nilainya.
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, mutlak, dan mendalam
sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukan sebab-sebab yang
tidak begitu mendalam, lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
Filsafat memuat
pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas
sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis
yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
Sekarang, filsafat sama dengan sains dalam menemukan pengetahuan
yang seksama dan terorganisir dengan baik. Tapi filsafat tidak puas dengan
definisi semacam ini. Filsafat mencari pengetahuan yang juga konprehensif.
Pikiran manusia tidak puas semata-mata dengan menyusun rangkaian yang tetap
tentang fenomena dan sekedar merumuskan cara-cara mereka bertingkah-laku.
Pikiran manusia sangat membutuhkan beberapa penjelasan akhir berkenaan dengan
berbagai fenomena dengan perilaku.
Dalam sejarah perkembangannya sebagaimana yang terjadi di
dunia Islam dengan kelahiran mu’tazilah yang mengedepankan akal (rasio) sekitar
(abad 2 H/8M), di dunia Eropha juga lahir gerakan Aufklarung (abad 11 H/17 M).
kedua sisi ini hendak merasionalkan agama. Mu’tazilah menolak adanya
sifat-sifat Tuhan dan Aufklarung menolak trinitas sebagai sifat Tuan. Alam
Aufklarung inilah dalam perkembangannya telah membuat peradaban Eropa menjurus
pada pemujaan akal. Mereka berpendapat bahwa antara ilmu dan agama terjadi
pertentangan yang keras, ilmu pengetahuan berkembang pada dunianya dan agama
pada dunia yang lain. Dalam persoalan ini lahirlah sikap sekuleristik dalam
ilmu pengetahuan.
Liberalisasi, emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang begitu diagungkan merupakan nilai-nilai kejiwaan yang selalu mewarnai sikap mental manusia Barat semenjak zaman renaissance (abad 15) dan Aufklaerung (abad ke 18) yang memungkinkan mereka melakukan tinggal landas mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga sekarang ini.
Liberalisasi, emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang begitu diagungkan merupakan nilai-nilai kejiwaan yang selalu mewarnai sikap mental manusia Barat semenjak zaman renaissance (abad 15) dan Aufklaerung (abad ke 18) yang memungkinkan mereka melakukan tinggal landas mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga sekarang ini.
Tokoh-tokoh renaissance dan Aufklaerung seperti
Copernicus (1473- 1543), Kepler (1571-16300, Galilie (1564-1642), Descrates
(1596-1650), Newton (1643-1727), Immanuel Kant(1724-1804), adalah sebagaian
dari deretan panjang nama-nama yang dalam sejarah kehidupan umat manusia
meupakan pelopor dan peletak dasar ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahun
sebagai pengejawantahan peradaban manusia telah dan akan terus berkembang
menurut proses dialektis, eksternalisasi, tempat manusia membangun dunianya,
menciptakan alam lingkungannya, objektiivitas, tempat terciptanya hasil-hail
karya manusia secara objektif kemudian terlepas dan akan berkembang menurut
hukum-hukumnya sendiri, internalisasi , struktural dunia objektif ke dalam
kesadaran subjektifnya.
Namun perkembangan fisafat ilmu itu sendiri berbanding
lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Tentang ilmu terutama amat penting
karangan-karangan dan buah pikiran Ibnu Rusyd (Averroism) sangat berpengaruh
atas perkembangan ilmu pada universitas-universitas yang terkenal di Eropa,
seperti Bologna, Napoli, Paris dan lain-lain sehingga menjadi faktor yang
penting dalam bangkitnya sikap pikiran ilmu manusia baru dizaman renaissance.
Zaman perkembangan ilmu yang palnig menentukan dasar
kemajuan ilmu sekarang ini ialah sejak zaman sekarang ini ialah sejak abad ke
17 dengan dorongan beberapa hal : pertama : untuk mengembalikan keputusan dan
pernyataan-pernyataan ilmiah lalu menonjolkan peranan matematik sebagai sarana
penunjang pemikiran ilmiah. Dalam angka inilah mulainya menonjol peranan
penggunaan angka Arab di Eropa (angka yang kita kenal di dunia sekarang) karena
dinilai lebih sederhana dan praktis dari pada angka –angka Romawi. Adapun angka
Arab itu sendiri dikembangkan dan berasal dari kebudayaan India. Faktor yang
kedua dalam revolusi ilmu di abad ke 17, ialah makin gigihnya para ilmuwan
menggunakan pengamatan dan eksperimen, dalam membuktikan kebenaran-kebenaran
preposisi ilmu.
Namun J.B.Bury menyangkal bahwa kemajuan ilmu tidak
terdapat pada abad pertengahan bahkan tidak terdapat pada awal Renaissance
,tetapi baru abad ke -17, sebagai hasil dari rumusan Cartesius tentang dua
aksioma yaitu :
1) berkuasanya
akal manusia dan 2) tak berubah-ubahnya hukum alam.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani .Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi perkembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut :
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani .Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi perkembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pra Yunani Kuno (abad 15-7 SM)
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Yakni
ketika belum mengenal peralatan seperti yang dipakai sekarang ini. Pada masa
itu manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Masa zaman batu berkisar
antara 4 juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum masehi. Sisa peradaban manusia
yang ditemukan pada masa ini antara lain: alat-alat dari batu, tulang belulang
dari hewan, sisa beberapa tanaman, gambar-gambar digua-gua, tempat-tempat
penguburan, tulang belulang manusia purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat
diruntut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani,
Babilonia, Mesir, China, Timur Tengah dan Eropa.
2. Zaman Yunani kuno (abad-7-2 SM)
Zaman Yunani kuno
dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki
kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya, Yunani pada masa itu
dianggap sebagai gudangnya ilmu dan filsafat, karena Yunani pada masa itu tidak
mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima
pengalaman-pengalaman yang didasarkan pada sikap menerima saja (receptive
attitude) tetapi menumbuhkan anquiring attitude (senang menyelidiki secara
kritis).
Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir yang
terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain
: Thales, Demokrates dan Aristoteles.
3. Zaman Pertengahan (Abad 2- 14 SM)
Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para
tampilnya theolog di lapangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah
hampir semuanya para theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan
aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah diarahkan untuk
mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah Anchila Theologia
(abdi agama). Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu Zaman bani Umayah
telah menemukan suatu cara pengamatan stronomi, 8 abad sebelum Galileo Galilie
dan Copernicus. Sedangkan peradaban Islam yang menaklukan Persia pada abad 8
Masehi, telah mendirikan Sekolah kedokteran dan Astronomi di Jundishapur. Pada
masa keemasan kebudayaan Islam, dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani.
Dan bahkan khalifah Al_Makmun telah mendirikan rumah Kebijaksanaan (House of
Wisdom) / Baitul Hikmah pada abad 9. Pada abad ini Eropa mengalami zaman
kegelapan (dark age).
4. Masa Renaissance (14-17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan
kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama, Renaissanse adalah zaman
peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu
kebudayaan modern. Tokoh-tokohnya adalah : Roger Bacon, Copernicus, Tycho
Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik disini adalah pendapat
Roger Bacon, ia berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi landasan utama
bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik merupakan
syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Menurut Bacon, filsafat harus
dipisahkan dari theologi. Agama yang lama masih juga diterimanya. Ia
berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya Allah. Akan tetapi mengenai
hal-hal yang lain didalam theology hanya dikenal melalui wahyu. Menurut dia
kemenangan iman adalah besar, jika dogma-dogma tampak sebagai hal-hal yang
tidak masuk akal sama sekali.
Sedangkan
Copernicus adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan bahwa matahari berada
di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran
sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi matahari. Teori ini
disebut Heliosentrisme. Namun teorinya ditentang kalangan gereja yang
mempertahankan prinsip Geosentrisme yang dianggap lebih benar dari pada prinsip
Heliosentrisme. Setiap siang kita melihat semua mengelilingi bumi. Hal ini
ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia menjadi pusat perhatian Tuhan,
untuk manusialah semuanya, paham demikian disebut Homosentrisme. dengan kata
lain prinsip Geosentrisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip Homosentrisme.
5. Perkembangan Filsafat Zaman Modern
(17-19 M)
Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah,
serta filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak secara
keseluruhan bercorak sufisme Yunani. Paham–paham yang muncul dalam garis
besarnya adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan Empirisme. Paham Rasionalisme
mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji
pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung rasionalisme, yaitu Descartes,
Spinoza, dan Leibniz.
Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik
adalah jiwa., spirit, Para pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber
filsafatnya mengikuti filsafat kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche
(1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif merupakan murid
Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme
Objektif .Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat Idealisme
Mutlak Hegel.
Pada Paham
Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme.
Mereka menentang para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas
kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Thomas
Hobes Jonh locke,dan David Hume.
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam
kontek ini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat
sekarang. Hal yang membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang
adalah bahwa zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak
sekitar abad ke-15, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai
perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh
perkembangan ilmu kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan, dalam
kajian ilmu social keagamaan, penelitiannya Clifford Geert yang dalam versi
aslinya berjudul The Religion of Java. Teknologi rekayasa genetika,
teknologi Informasi, adanya teori Partikel Elementer dan kemajuan sains dan
teknologi dibidang-bidang lain .
Lebih lanjut Semenjak
tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama
sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh
oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai
andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung
secara mengesankan.
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang
sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu
dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu
orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar
menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga
ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan
percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang
memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi
keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam
bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat
luar biasa.
Semua keberhasilan
ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan
teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba
matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan
memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun
peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk
kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini.
Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah
memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan
kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai
akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi
raksasa ternyata telah menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik
untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu
dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah
memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat
tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana
diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang
lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena
sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori
pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari
berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial.
Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi
sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”.
Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide
bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan
manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme
dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4)
mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme
yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
Aliran
post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no
the truth nor a truth – truth is not one thing, - or even a system. It is an
increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak
mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak
ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk
menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin
tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan
digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu
merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa
yang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically
embeded, and valuationally.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian
bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan.
Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil
penelitian. Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam
bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan
filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah
mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik, yang dianggap telah
mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke
arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan
oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud
akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi
persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi
identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang
berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,
terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sistematika filsafat
membicarakan masalah sains atau pengetahuan tentang pa yang telah diketahui dan
sejauh mana kebenaran pengetahuan yang dimaksudkan. Hakikat tahu,mengetahui,
dan pengetahuan dengan segala kaitannya meliputi hal-hal yang dimaksud dengan
‘tahu’ atau mengetahui suatu hal. Kemudian, setiap tahu danmengetahui akan
melibatkan suatu gagasan dalam pikiran dan pengalaman indrawi, sehingga
pengetahuan itu mengandung kriteria kebenaran filosofis.
Dalam hal ini tidak
salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan
hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis spekulatif
danberpikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran
filsafat pendidikan tradisional adalah bahwa filsafat menentukan tujuan dan
sains menentukan alat sarana untuk hidup.
Daftar Pustaka
- Irawan, 2007. Tokoh-Tokoh Filsafat Sains dari masa ke masa. Bandung ; Intelekia Pratama.
- Irawan, 2008. Pengantar Singkat Ilmu Filsafat. Bandung; Intelekia pratama.
- Usman Samatowa. (2006). Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Nasional
- http://fajarsubijakto.wordpress.com ( Diakses pada tanggal 22 September 2013)
- http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_alam (Diakses pada tanggal 23 September 2013
Wahh...artikel nya menarik dan menambah wawasan. Terimakasih infonya..
BalasHapusinfonya menarik sekali ,, terima kasih karena telah menambah wawasan kepada saya :)
BalasHapusterimakasih atas postingannya kak, ini sangat membantu menambah wawasan dan pengetahuan :)
BalasHapusBermanfaat sekali tulisan ini. Bisa buat referensi belajar dan nyelesein tugas kuliah. Makasih udah berbagi. Keep posting!
BalasHapusartikel ini menarik dan sangat bermanfaat .. terima kasih infonyaa....
BalasHapus